Selasa, 02 September 2014

Radar Surabaya, 24 Agustus 2014

Warok


            Poe telah hilang selama satu bulan ini. Mungkin karena kesalahanku yang sangat kesal dia berak di atas naskah cerpen garapanku. Aku marah, menendangi perutnya dan menyuruh dia pergi. Selepas itu, ia tidak lagi terlihat sampai hari ini. Bau ikan asinpun tidak lagi menggoda kucing-kucing di sekitar lingkungan ini termasuk Poe. Aku telah memancingnya buat keluar tapi tidak berhasil. Aku kira kejadian yang menimpaku hanya dialami oleh diriku saja, tetapi beberapa orang penyayang kucing di lingkungan ini juga mencari peliharaannya yang entah pergi kemana. Kucing-kucing menghilang begitu saja tanpa petunjuk apapun. Meninggalkan tahi di mana-mana. Para pemelihara kucing terus-menerus mencari sebab ingin melakukan sesuatu seperti diriku; minta maaf pada kucing. Tobias, seorang gendut yang bekerja sebagai koki restoran kumuh di pusat kota, juga mencari seekor Toyger mahal miliknya. Kucing itu, katanya, ia gebuk dengan bonggol kayu besar setelah berak di atas piring penuh pasta. Padahal, katanya, pasta itu baru saja dia buat untuk makan malam romantis bersama kenalannya di balkon apartemen. Tahinya menutupi pasta seakan itu sausnya; meleleh tersebab mencret. Setelah kegebuk, kucingnya terkejut lalu bergegas keluar dari rumah seperti halnya Poe. Kisah sama juga dialami si banci Mince saat kucingnya berak di atas kotak riasnya. Kami benar-benar ingin minta maaf pada kucing kami. Dicari berhari-hari tidak juga ketemu. Rasa putus asa menyeruak dalam dada kami. Kucing-kucing sudah tidak ada lagi.
           
***
            Petang masuk ke celah-celah dinding. Aku mandi. Mengganti bajuku lantas bersiap menuju masjid. Di hari tuaku begini, hanya mengisi waktu dengan berdoa akan membikin hatiku tentram. Sembari melangitkan doa-doaku, pikiranku kadang mengembara mencari keberadaan Poe. Di mana kucingku Poe? Semoga Tuhan selalu melindunginya.

            Azan Magrib sudah lama selesai dan ibadah kami pun telah dijalankan. Orang-orang kembali ke kediaman mereka masing-masing dan hanya tersisa aku di dalam masjid. Beberapa saat lamanya aku berdoa dan setelah rampung, lantas aku merapikan sajadah masjid dan memasukkannya kembali dalam almari yang terletak di sebelah kiri. Kipas angin kumatikan. Aku melangkah menuju pintu karena dari jendela masjid terlihat rumahku didatangi dua tamu. Dua orang pemuda luar kota yang telah jadi karibku. Ketika sampai di pintu masjid, aku terkejut menemukan dua tikus banyak polah itu. Tikus warok besar, berjumpalitan saling beradu di atas lantai kusam di teras masjid. Ketika kuhampiri, mereka tidak takut sama sekali. Mereka tegak, berhenti bermain dan seolah menghadang diriku. Aku menghindari mereka. Bergegas pulang ke rumah yang letaknya hanya lima meter dari masjid. Aku telah sampai. Jika saja ada Poe, batinku, mungkin mereka akan dimakan dengan mudahnya.

            Dua pemuda yang aku temui itu seperti datang dari masa lalu. Mereka mencintai sastra seperti aku. Menulis sajak dan cerita pendek; menghidupi kenangan lama dengan menuangkannya ke dalam secarik kertas. Seperti merekam yang telah lalu agar diingat lagi oleh seseorang yang mungkin membacanya.Yang satu berbadan gemuk, tinggi tapi dengan rambut yang telah menipis begitu parah dalam masa tua yang tiba sangat cepat, walaupun ia masih muda. Satunya lagi seorang pemuda kurus suka bercanda. Memakai penutup kepala warna hitam yang membungkus setengah kepalannya sebagai ciri khas seorang pengarang nyentrik. Mereka berdua tergabung dalam sebuah komunitas sastra di kotanya. Yang berambut tipis akan mengembalikan buku Don Quixote yang dipinjam selama tiga bulan belakangan. Aku berkali-kali mendesaknya buat mengembalikan buku itu. Kusuguhkan kopi hitam pada mereka. Kami berbincang seputar Zen dan para pemikir rasional yang menganggap Tuhan sebagai boneka khayal bikinan manusia. Lalu si kurus bertanya padaku, di mana kucingku itu? Aku menjawab bahwa Poe telah hilang hampir dua bulan lamanya. Aku sudah menyerah. Dia pasti mendapat tuan yang baru, kataku. Kami diam beberapa saat. Lalu pemuda-pemuda itu menghibur diriku dan melanjutkan percakapan mengenai Zen dan aku menceritakan bagaimana Xu Yun, guru Zen terakhir, berhasil lolos dari racun atau kehebatan-kehebatan lainnya pada masa revolusi kebudayaan yang diterapkan Mao Zedong di Tiongkok dahulu. Tapi selama kami berbincang, pikiranku mengambang dalam kenangan terhadap Poe kucingku. Kucing hitam legam yang kecil itu aku temukan pertama kali di pasar, saat aku belanja ikan bandeng untuk makan siangku. Seekor kucing tertatih-tatih mengeong kepada siapapun yang ditemuinya di jalan dagangan ikan yang digelar para pedagang pasar itu. Pada saat aku berhadapan dengannya, ia mengeong dan mengelus kakiku dengan bulu-bulunya itu. Aku iba kemudian kubawalah kucing tersebut pulang ke rumah. Kunamai Poe. 

Walaupun tak sebagus milik Tobias atau kucing yang selalu bersih kepunyaan Mince, Poe tetap kusayang seperti dia adalah anakku. Sebab aku sendirian di rumah, maka Poe bisa jadi teman yang akrab untukku. Menulis cerita atau sajak ditemani seekor kucing dan bercangkir-cangkir kopi, akan sangat membantu diriku. Kami melewati dua tahun bersama hingga kini dia menghilang karena kemarahan sesaatku. Aku menyesal.

            Aku berhenti membayangkan Poe di sela-sela perbincangan kami saat pemuda yang gemuk dan berambut tipis meminta ijin padaku, bertanya di mana letak WC karena dia sudah tidak tahan lagi ingin berak. Dengan penerangan berupa obor sebab hari berubah malam, aku tunjukkan kepadanya di mana letak WC. Ia kubekali seember air yang menurutku akan cukup buat satu kali proses buang air besarnya. Aku kembali menemui si pemuda kurus dan meninggalkan yang gemuk dengan urusannya.

              Kami melanjutkan perbincangan. Beberapa menit kemudian si gemuk berambut tipis kembali dengan muka lega dan keriangan yang ringan; bergabung dalam perbincangan kami. Setelah tiga jam aku meladeni mereka bicara, mereka memutuskan pulang ke kotanya. Tinggal sepi aku tanpa siapapun. Aku kembali ke masjid buat melaksanakan ibadah Isya’. Saat aku berjalan menuju masjid, mataku mengarah pada sesosok kejanggalan yang tergeletak di atas tanah tepatnya di pojok teras masjid. Saat aku dekati, ternyata benda janggal itu adalah sebuah kuping kucing! Kuping belang-belang warna oranye yang diselingi warna hitam. Aku takut ingin lari pulang. Tapi tak bisa pergi karena sepasang mata hitam yang begitu kecil, menyembul dari puing bangunan sisa masjid lama yang diterangi lampu masjid di teras. Kini bertambah lagi jadi dua pasang mata hitam yang seolah samar menyediakan cahaya di pupilnya. Seakan itu senter mungil. Mereka menunjukkan dirinya di depanku. Dua warok itu! Aku ingin lari tapi aku tertegun. Barangkali merekalah yang menghabisi Toyger peliharaan Tobias. Dancuk!

            Memang tikus yang amat besar. Barangkali kucing-kucing di sini telah dihabisi oleh mereka. Aku seakan melihat dua sepatu dinas milik tentara yang bergerak mendekatiku. Begitu legam dan besar. Mereka yang tadi main-main di sini, seakan setiap menit mereka tumbuh. Rasanya tadi mereka tidak seukuran dengan yang sekarang. Seakan setelah memamah seekor kucing, tubuh mereka jadi seukuran kucing. Aku tak bisa ke mana pergi. Hanya berdoa agar keselamatan Poe dijamin oleh Tuhan. Aku mendongak ke langit, menyaksikan bintang-bintang bertaburan. Malam yang dingin. Seperti sungai digeret melintang, sebuah alur awan bergerak dalam kegelapan tapi aku saksikan perlahan awan-awan berjalan. Dan dua cakram bercahaya terbang sangat cepat di langit. Menyisakan suatu nostalgia yang hangat di dadaku.
           
***
            Kejadian kemarin malam mengesani diriku. Kuping yang tersisa kubuang ke tong sampah.Dan aku tidak memberitahukan hal itu kepada Tobias sebab mungkin kucing yang dimakan tikus-tikus itu bukan miliknya. Tapi hatiku meyakini bahwa sisa kuping itu merupakan bagian dari kucing peliharaan Tobias. Walaupun kami telah menyerah mencari. Dan tikus-tikus itu sesekali muncul berjumpalitan di depan masjid saat aku keluar dari pintu masjid atau ketika malam jadi larut.

            Aku selalu berharap suatu ketika Poe akan kembali ke rumah ini. Sambil tetap waspada dengan perilaku tikus-tikus itu, aku menjaga harapanku akan kepulangan yang kurindukan. Malam demi malam bergantian susul menyusul ke ujung bulan. Bulan bergantian menyisahkan satu lagi ke tahun yang baru. Poe tidak pernah terlihat lagi. Orang-orang sudah melupakan kucing dan kini beralih memelihara landak mini yang sedang nge-trend. Hanya bayangan dari lubuk hatiku akan Poe yang masih tersisa. Kadang, di suatu malam bayangan kucing itu datang mengendap-endap di tembok-tembok dan seolah mendekatiku. Aku mengelus yang tidak ada. Khayalanku keluar dari pikiran dan mengejutkanku. Tikus-tikus raksasa masih nyaman tinggal di antara puing bekas masjid lama di depan teras masjid; menjaga kemenangannya akan penindasan ras tikus di taring kucing selama ini. Poe telah mati, mungkin, di gigi tikus-tikus itu. Tikus-tikus yang doyan makan kabel listrik dan kayu almari.

2014

    --Buat penyair Puji Pistols, pertemuan dan buku-buku. 



BIODATA:

Bagus Dwi Hananto,lahir di Kudus, Agustus 1992. Buku puisi tunggalnya Fantasme Jendela (2014).

Radar Surabaya,6 Juli 2014

 PAK TUA DAN CICAK-CICAK DI DINDING

“Dancuk!” seru Pak Warsito sambil merasa keparat tak bisa meludahi kepala seekor cicak di dekat jam dinding. Ruangan yang berfungsi sebagai kamar tidur itu jelas tidak menyerupai tempat tidur yang layak bagi orang lanjut usia sepertinya. Buku-buku mengelilingi sebuah tikar seperti ritual dengan Pak Warsito berada di tengah-tengahnya. Ia akan memposisikan buku-buku itu seperti begitu meski harus merobohkan salah satu sisinya jika ada keperluan di luar kamar tidur istimewanya. Ia akan menata sambil menyerambulkan kata-kata ajaib seperti “asu” dan “dancuk”. Buku-buku yang sudah dikumpulkannya dari usia remaja sampai sekarang merupakan penggenapan cita-cita luhurnya kelak jika tanda-tanda kematian telah datang padanya : membakar semua buku tersebut.

Cita-cita itu sudah diangan-angankan Pak Warsito mulai ketika ia mengkoleksi buku pertama sampai buku kesekian. Sebab ia merasa bahwa buku-buku tidak pernah dibaca. Buku-buku di perpustakaan kotanya tidak ada yang menyentuh untuk membacanya. Daripada terlantar tidak ada yang mengurus lebih baik ia bakar dan mereka semua akan dirawat di sorga kelak dengan Pak Warsito sebagai penjaga dan pembacanya.

  Cerita tentang Pak Warsito yang lebih khas lagi adalah kesenangannya meludahi cicak-cicak di dinding. Dengan tembakan air liur yang seperti pelor dilontarkan dari pistol,ia mampu menjatuhkan musuh-musuh di dinding itu. Rumah penuh bekas ludahannya di dinding-dinding,dan para warga hanya memaklumi hal tersebut sebagai tanda bahwa usia tua berdampak pada kondisi kejiwaan. “Suara cicak dan jam dinding selalu sama dan seperti mengejekku. Cicak dapat kubunuh,namun waktu tak bisa kubunuh—ia abadi.” Pak Warsito selalu menjawab segala pertanyaan tentang mengapa ia meludahi cicak-cicak di dinding dengan jawaban tersebut.

Sebenarnya seorang istri pernah dipunyai Pak Warsito namun sudah dua puluh lima tahun ia pergi tak tentu rimbanya. Tanpa kabar apapun,tanpa kejelasan apapun,ia pergi begitu saja. “Seseorang yang sudah mati di dalam hatiku.”

  Sebatang kara hidup Pak Warsito hanya dihabiskan dengan membaca buku dan naik sepeda onthel mencari buku bekas di pasar-pasar loak. Selain sebagai petani dengan sepetak tanah berukuran dua puluh lima meter persegi saja yang entah karena apa selalu subur dan penuh dengan berbagai macam tumbuhan sayur. Pak Warsito dengan tubuh kurus dan kulit lentur yang sudah ditanggalkan kegagahan prianya,merasa bahwa tanah yang dimilikinya sudah dianugrahi karena ia seseorang yang rajin mencari ilmu dengan membaca. “Seperti kecambah yang selalu tumbuh subur,ilmupun memiliki khasiatnya pada lingkungan sekitar.”

***

Tembakan-tembakan ludah mulai dilancarkan Pak Warsito di dinding rumahnya. Malam hari setelah lirih suara adzan isya’ menggema. Dari doa yang dipanjatkan dan terkabulkan : segerombol cicak menempel dinding. Pak Warsito menembak dengan kecepatan luar biasa yang terlontar dari mulut ompongnya. Mulut yang sudah kendur karena kehilangan banyak gigi tetapi tetap semangat menghadapi cicak-cicak di dinding. Satu,dua dan tiga cicak terjatuh dan menggelepar dalam ramuan bacin air liur Pak Warsito. Kegembiraan yang dirayakan dengan tarian di atas mayat-mayatnya.
Jika sudah letih menembaki cicak-cicak di dinding,maka Pak Warsito akan rebah di kamarnya,mengejap-kejapkan matanya tanpa pernah bisa tidur karena insomnia akut yang telah ia derita selama tiga puluh tahun membuatnya selalu merindukan mimpi. Tapi hal aneh dari insomnia itu adalah bahwa ketika fajar sudah mulai nampak di langit,Pak Warsito seperti mendapat kekuatan baru meski tidak tidur. Keletihan sebagaimana orang yang memiliki penyakit itu tidak pernah ia rasakan walaupun sudah tidak tidur selama tiga puluh tahun lebih. Matanya seakan diperbarui dari hari ke hari padahal aktifitas membacanya membutuhkan fokus lebih dan melelahkan mata. Ajaibnya ia hanya membaringkan tubuh dua-tiga jam dan bangun tanpa keletihan yang membekas.

Ia selalu merasa bahwa semua cicak bersembunyi di belakang jam dinding dan memainkan sebuah koor yang menggodam telinganya dengan suara detak-detik sepanjang malam. Tapi berkali-kali ia ungkai bagian belakang jam dinding,tak juga ditemukan. Cicak-cicak seperti ditabur oleh seseorang dan tiba-tiba menempel di dinding. Serambul cicak akan ada begitu saja jika malam sudah menampak dan Pak Warsito merasa bahwa waktu adalah cicak itu sendiri yang terus berkembang biak agar kesenangan membunuhinya dapat terlampiaskan sebagai perasaan tak sanggup menaklukkan waktu itu sendiri.

***

Hari ini anehnya tak satupun cicak muncul di dinding seperti biasanya. Pak Warsito telah menunggu-nunggu hingga berjam-jam dari pagi sampai larut malam dan merasa kecewa. “Barangkali waktu telah menariknya dariku agar ia sendiri yang perlu melawanku,” pikir Pak Warsito. Cicak-cicak di dinding tiba-tiba menjadi sesuatu yang ia rindukan semalam itu lebih dari mimpi. Ia merasa sangat cemas;mondar-mandir mengamati dinding-dinding sampai fajar datang. Merasa ditipu ia putar balik jam dinding lebih cepat dua belas jam. Dengan begini malam akan lebih cepat datang. Memang benar,tiba-tiba langit seperti sudah pekat hitam meski waktu sebenarnya adalah tengah hari. Dan ajaib,cicak-cicak datang lagi untuk ditembaki peluru-peluru ludah Pak Warsito.

Semenjak jam di dindingnya diputar lebih,malam selalu datang awal dan berlangsung sangat lama yaitu mulai dari jam dua belas siang sampai fajar menggantikan. Orang-orang merasa ini akibat daripada pemanasan global yang diakibatkan oleh asap industri-industri kapital padahal ini adalah perbuatan waktu yang terkurung dalam jam dinding di kamar tidur Pak Warsito. Aksi menembak cicak-cicak di dinding tak surut dengan fenomena alam ini,bahkan tambah menggila dan makin jitu. Dalam satu kali percobaan menembak,langsung saja satu cicak terjatuh dan mampus. Bahkan kini Pak Warsito memiliki kehebatan memecah satu peluru ludah menjadi dua bagian yang mengenai dua sasaran. Entah karena keberpihakan udara di sekitar rumahnya atau magis apa. Sepersekian detik setelah air liur dilontarkan dari mulutnya,tiba-tiba saja memecah menjadi dua bagian yang langsung mengena sasaran. Tak pelak ratusan jiwa cicak-cicak di dinding melayang dalam sebuah adegan berdarah oleh koboi tua yang sudah mendapati tanda kematian pada dirinya yaitu ketangkasannya yang makin menjajam.

Sesuai dengan ikrarnya,ribuan buku kesayangan itu dibakar menjadi abu. Hatinya sudah tidak terbebani lagi dan kedamaian telah datang sebagai persiapan menghadapi kematian. Waktu yang menjemputnya akhirnya datang saat cicak-cicak yang menempel di dinding-dinding sudah tidak ada lagi. Ia baringkan tubuhnya di tikar tempat ia biasa merebah…dan memejam. Ia akhirnya dapat tidur. Tidur untuk selama-lamanya.

***

Hujan turun sudah delapan minggu di kota itu. Orang-orang hanya bisa mengumpat, berserapah sebab tak ada yang bisa dikerjakan untuk kehidupan mereka. Mereka mulai mencari-cari kesibukan dengan menadah air hujan untuk dibuang kembali atau membasuh rumah-rumah dengan air hujan meski hujan sudah membasahi rumah-rumah mereka. Orang-orang menganggur dan seseorang memiliki ide brilian yang diikuti orang-orang di kota itu,untuk meneruskan pekerjaan Pak Warsito yang dulu telah mereka lupakan: menembak cicak-cicak di dinding.

Orang-orang mulai berlatih mengatur kecepatan air liur mereka. Mengatur ketepatan dan ketersampaian ludah mereka pada dinding bagian atas. Mereka langsung menembaki cicak-cicak di dinding. Ratusan kali menembak hanya dua atau tiga cicak yang kena. Tak sehebat Pak Warsito yang mampu melakukan dengan ketepatan luar biasa. Orang-orang menembaki cicak-cicak di dinding dengan kegagalan yang diikuti sebuah serapah “dancuk”.Jika orang-orang menembak dalam waktu yang bersamaan maka akan terdengar sebuah koor pendek yang memanjang keras-keras dengan lirik “dancuk….” yang penuh amarah.