Warok
Poe telah hilang selama satu bulan
ini. Mungkin karena kesalahanku yang sangat kesal dia berak di atas naskah
cerpen garapanku. Aku marah, menendangi perutnya dan menyuruh dia pergi.
Selepas itu, ia tidak lagi terlihat sampai hari ini. Bau ikan asinpun tidak
lagi menggoda kucing-kucing di sekitar lingkungan ini termasuk Poe. Aku telah
memancingnya buat keluar tapi tidak berhasil. Aku kira kejadian yang menimpaku
hanya dialami oleh diriku saja, tetapi beberapa orang penyayang kucing di
lingkungan ini juga mencari peliharaannya yang entah pergi kemana. Kucing-kucing
menghilang begitu saja tanpa petunjuk apapun. Meninggalkan tahi di mana-mana. Para
pemelihara kucing terus-menerus mencari sebab ingin melakukan sesuatu seperti
diriku; minta maaf pada kucing. Tobias, seorang gendut yang bekerja sebagai
koki restoran kumuh di pusat kota, juga mencari seekor Toyger mahal miliknya.
Kucing itu, katanya, ia gebuk dengan bonggol kayu besar setelah berak di atas
piring penuh pasta. Padahal, katanya, pasta itu baru saja dia buat untuk makan
malam romantis bersama kenalannya di balkon apartemen. Tahinya menutupi pasta
seakan itu sausnya; meleleh tersebab mencret. Setelah kegebuk, kucingnya
terkejut lalu bergegas keluar dari rumah seperti halnya Poe. Kisah sama juga
dialami si banci Mince saat kucingnya berak di atas kotak riasnya. Kami
benar-benar ingin minta maaf pada kucing kami. Dicari berhari-hari tidak juga
ketemu. Rasa putus asa menyeruak dalam dada kami. Kucing-kucing sudah tidak ada
lagi.
***
Petang masuk ke celah-celah dinding.
Aku mandi. Mengganti bajuku lantas bersiap menuju masjid. Di hari tuaku begini,
hanya mengisi waktu dengan berdoa akan membikin hatiku tentram. Sembari
melangitkan doa-doaku, pikiranku kadang mengembara mencari keberadaan Poe. Di
mana kucingku Poe? Semoga Tuhan selalu melindunginya.
Azan Magrib sudah lama selesai dan
ibadah kami pun telah dijalankan. Orang-orang kembali ke kediaman mereka
masing-masing dan hanya tersisa aku di dalam masjid. Beberapa saat lamanya aku
berdoa dan setelah rampung, lantas aku merapikan sajadah masjid dan
memasukkannya kembali dalam almari yang terletak di sebelah kiri. Kipas angin
kumatikan. Aku melangkah menuju pintu karena dari jendela masjid terlihat
rumahku didatangi dua tamu. Dua orang pemuda luar kota yang telah jadi karibku.
Ketika sampai di pintu masjid, aku terkejut menemukan dua tikus banyak polah
itu. Tikus warok besar, berjumpalitan saling beradu di atas lantai kusam di
teras masjid. Ketika kuhampiri, mereka tidak takut sama sekali. Mereka tegak,
berhenti bermain dan seolah menghadang diriku. Aku menghindari mereka. Bergegas
pulang ke rumah yang letaknya hanya lima meter dari masjid. Aku telah sampai.
Jika saja ada Poe, batinku, mungkin mereka akan dimakan dengan mudahnya.
Dua pemuda yang aku temui itu
seperti datang dari masa lalu. Mereka mencintai sastra seperti aku. Menulis
sajak dan cerita pendek; menghidupi kenangan lama dengan menuangkannya ke dalam
secarik kertas. Seperti merekam yang telah lalu agar diingat lagi oleh
seseorang yang mungkin membacanya.Yang satu berbadan gemuk, tinggi tapi dengan
rambut yang telah menipis begitu parah dalam masa tua yang tiba sangat cepat,
walaupun ia masih muda. Satunya lagi seorang pemuda kurus suka bercanda.
Memakai penutup kepala warna hitam yang membungkus setengah kepalannya sebagai
ciri khas seorang pengarang nyentrik. Mereka berdua tergabung dalam sebuah
komunitas sastra di kotanya. Yang berambut tipis akan mengembalikan buku Don Quixote yang dipinjam selama tiga bulan
belakangan. Aku berkali-kali mendesaknya buat mengembalikan buku itu. Kusuguhkan
kopi hitam pada mereka. Kami berbincang seputar Zen dan para pemikir rasional
yang menganggap Tuhan sebagai boneka khayal bikinan manusia. Lalu si kurus
bertanya padaku, di mana kucingku itu? Aku menjawab bahwa Poe telah hilang
hampir dua bulan lamanya. Aku sudah menyerah. Dia pasti mendapat tuan yang
baru, kataku. Kami diam beberapa saat. Lalu pemuda-pemuda itu menghibur diriku
dan melanjutkan percakapan mengenai Zen dan aku menceritakan bagaimana Xu Yun,
guru Zen terakhir, berhasil lolos dari racun atau kehebatan-kehebatan lainnya
pada masa revolusi kebudayaan yang diterapkan Mao Zedong di Tiongkok dahulu. Tapi
selama kami berbincang, pikiranku mengambang dalam kenangan terhadap Poe
kucingku. Kucing hitam legam yang kecil itu aku temukan pertama kali di pasar,
saat aku belanja ikan bandeng untuk makan siangku. Seekor kucing tertatih-tatih
mengeong kepada siapapun yang ditemuinya di jalan dagangan ikan yang digelar
para pedagang pasar itu. Pada saat aku berhadapan dengannya, ia mengeong dan
mengelus kakiku dengan bulu-bulunya itu. Aku iba kemudian kubawalah kucing
tersebut pulang ke rumah. Kunamai Poe.
Walaupun tak sebagus milik Tobias atau
kucing yang selalu bersih kepunyaan Mince, Poe tetap kusayang seperti dia
adalah anakku. Sebab aku sendirian di rumah, maka Poe bisa jadi teman yang
akrab untukku. Menulis cerita atau sajak ditemani seekor kucing dan
bercangkir-cangkir kopi, akan sangat membantu diriku. Kami melewati dua tahun
bersama hingga kini dia menghilang karena kemarahan sesaatku. Aku menyesal.
Aku berhenti membayangkan Poe di
sela-sela perbincangan kami saat pemuda yang gemuk dan berambut tipis meminta
ijin padaku, bertanya di mana letak WC karena dia sudah tidak tahan lagi ingin
berak. Dengan penerangan berupa obor sebab hari berubah malam, aku tunjukkan
kepadanya di mana letak WC. Ia kubekali seember air yang menurutku akan cukup
buat satu kali proses buang air besarnya. Aku kembali menemui si pemuda kurus
dan meninggalkan yang gemuk dengan urusannya.
Kami
melanjutkan perbincangan. Beberapa menit kemudian si gemuk berambut tipis
kembali dengan muka lega dan keriangan yang ringan; bergabung dalam
perbincangan kami. Setelah tiga jam aku meladeni mereka bicara, mereka
memutuskan pulang ke kotanya. Tinggal sepi aku tanpa siapapun. Aku kembali ke
masjid buat melaksanakan ibadah Isya’. Saat aku berjalan menuju masjid, mataku
mengarah pada sesosok kejanggalan yang tergeletak di atas tanah tepatnya di
pojok teras masjid. Saat aku dekati, ternyata benda janggal itu adalah sebuah
kuping kucing! Kuping belang-belang warna oranye yang diselingi warna hitam.
Aku takut ingin lari pulang. Tapi tak bisa pergi karena sepasang mata hitam
yang begitu kecil, menyembul dari puing bangunan sisa masjid lama yang
diterangi lampu masjid di teras. Kini bertambah lagi jadi dua pasang mata hitam
yang seolah samar menyediakan cahaya di pupilnya. Seakan itu senter mungil.
Mereka menunjukkan dirinya di depanku. Dua warok itu! Aku ingin lari tapi aku
tertegun. Barangkali merekalah yang menghabisi Toyger peliharaan Tobias.
Dancuk!
Memang tikus yang amat besar.
Barangkali kucing-kucing di sini telah dihabisi oleh mereka. Aku seakan melihat
dua sepatu dinas milik tentara yang bergerak mendekatiku. Begitu legam dan
besar. Mereka yang tadi main-main di sini, seakan setiap menit mereka tumbuh.
Rasanya tadi mereka tidak seukuran dengan yang sekarang. Seakan setelah memamah
seekor kucing, tubuh mereka jadi seukuran kucing. Aku tak bisa ke mana pergi.
Hanya berdoa agar keselamatan Poe dijamin oleh Tuhan. Aku mendongak ke langit,
menyaksikan bintang-bintang bertaburan. Malam yang dingin. Seperti sungai digeret
melintang, sebuah alur awan bergerak dalam kegelapan tapi aku saksikan perlahan
awan-awan berjalan. Dan dua cakram bercahaya terbang sangat cepat di langit.
Menyisakan suatu nostalgia yang hangat di dadaku.
***
Kejadian kemarin malam mengesani
diriku. Kuping yang tersisa kubuang ke tong sampah.Dan aku tidak memberitahukan
hal itu kepada Tobias sebab mungkin kucing yang dimakan tikus-tikus itu bukan
miliknya. Tapi hatiku meyakini bahwa sisa kuping itu merupakan bagian dari
kucing peliharaan Tobias. Walaupun kami telah menyerah mencari. Dan tikus-tikus
itu sesekali muncul berjumpalitan di depan masjid saat aku keluar dari pintu
masjid atau ketika malam jadi larut.
Aku selalu berharap suatu ketika Poe
akan kembali ke rumah ini. Sambil tetap waspada dengan perilaku tikus-tikus
itu, aku menjaga harapanku akan kepulangan yang kurindukan. Malam demi malam
bergantian susul menyusul ke ujung bulan. Bulan bergantian menyisahkan satu
lagi ke tahun yang baru. Poe tidak pernah terlihat lagi. Orang-orang sudah
melupakan kucing dan kini beralih memelihara landak mini yang sedang nge-trend. Hanya
bayangan dari lubuk hatiku akan Poe yang masih tersisa. Kadang, di suatu malam
bayangan kucing itu datang mengendap-endap di tembok-tembok dan seolah
mendekatiku. Aku mengelus yang tidak ada. Khayalanku keluar dari pikiran dan
mengejutkanku. Tikus-tikus raksasa masih nyaman tinggal di antara puing bekas
masjid lama di depan teras masjid; menjaga kemenangannya akan penindasan ras
tikus di taring kucing selama ini. Poe telah mati, mungkin, di gigi tikus-tikus
itu. Tikus-tikus yang doyan makan kabel listrik dan kayu almari.
2014
--Buat penyair Puji Pistols, pertemuan dan
buku-buku.
BIODATA:
Bagus Dwi Hananto,lahir di Kudus, Agustus 1992. Buku puisi tunggalnya Fantasme Jendela (2014).